Dari Pahlawan Real Madrid ke Musuh Nomor Satu
Dari Pahlawan Real Madrid ke Musuh Nomor Satu

omjago.com – Luis Enrique lagi menghidupkan kenangan lama yang belum seluruhnya sembuh bagi para pendukung Real Madrid. Dalam semifinal Piala Dunia Antarklub 2025, sang pelatih mempunyai Paris Saint-Germain (PSG) menghancurkan mantan klubnya dengan skor telak 4-0. Kemenangan itu sekaligus mengantar PSG ke final menghadapi Chelsea, namun bagi Enrique, ini lebih dari sekadar hasil—ini adalah sambungan dari narasi panjang yang penuh luka dan pengkhianatan.
Kisah Enrique tak mampu di lepaskan dari masa lalunya dengan Los Blancos. Ia dulu menjadi anggota perlu dari skuad Real Madrid di masa 1990-an, menyabet gelar La Liga sebelum saat kemudian membuat cara yang mengejutkan dengan tukar ke Barcelona di th. 1996. Keputusan itu hingga kini masih membekas sebagai salah satu ‘pengkhianatan’ terbesar didalam histori El Clasico.
Kini, hampir tiga dekade setelah ia berubah warna, Enrique masih menjadi sosok yang menyulut emosi di Santiago Bernabeu. Kemenangan dengan PSG semata-mata babak paling baru dari perjalanan seorang pria yang dulunya dielu-elukan di Madrid, namun kini dicemooh tanpa ampun tiap tiap kali kembali.
Dari Gijon ke Madrid: Awal Karier yang Menjanjikan
Luis Enrique memulai karier profesionalnya di Sporting Gijon sebelum saat dipinang Real Madrid terhadap awal dekade 90-an. Ia tampil sebagai gelandang dinamis yang mampu mencetak gol dan bekerja keras di lapangan, kualitas yang menjadikannya favorit di mata pelatih dan suporter. Lima th. berseragam putih memberikan Enrique satu gelar La Liga dan daerah tetap didalam skuad utama klub raksasa itu.
Namun, meski tampil solid, Enrique terasa kurang dihargai oleh manajemen Madrid. Ketika kontraknya habis terhadap 1996, ia membuat ketetapan yang mengejutkan: menyeberang ke Barcelona secara gratis.
Langkah itu membuatnya langsung menjadi musuh di mata publik Madrid. Ia tak hanya meninggalkan klub, namun memilih bergabung dengan rival terbesar—sebuah ketetapan yang merubah reputasinya secara drastis di ibu kota Spanyol.
Jadi Ikon Barca: Kapten, Pemenang, Provokator
Di Barcelona, Enrique tak perlu selagi lama untuk menjadi idola. Selama delapan musim, ia mencatat lebih dari 300 tampilan dan raih tujuh trofi, termasuk dua gelar La Liga dan Piala Winners. Lebih dari itu, ia menjadi kapten dan simbol stimulan Blaugrana, pemain yang tak segan berkonfrontasi demi membela warna yang ia kenakan.
Salah satu momen paling ikonik sekaligus kontroversial Enrique tersaji terhadap El Clasico April 2003 di Santiago Bernabeu. Barcelona yang tak lagi bersaing di jalan juara sukses menahan imbang Madrid 1-1, dengan Enrique mencetak gol penyeimbang. Selebrasinya yang penuh emosi—menunjukkan kaus ke arah pendukung Madrid—menyulut amarah seluruh stadion.
“Saya tidak heran seluruh orang ‘menyoraki’ saya,” ujar Enrique seusai laga. “Kalau tak senang cara saya merayakan, jangan datang.” Respons itu mempertegas posisinya: bukan lagi sekadar mantan Madridista, namun figur yang sengaja menantang rasa sentimentil di Bernabeu.
Duel Zidane, Cemooh Sanz, dan Warisan Konflik
Masih didalam laga El Clasico 2003 itu, ketegangan memuncak saat Enrique terlibat konfrontasi dengan Zinedine Zidane. Pemain Prancis itu terlihat menyerang Carles Puyol, membuat Enrique bereaksi keras hingga akhirnya wajahnya didorong oleh Zidane. Saling dorong antar pemain terjadi, namun hanya Zidane yang mendapat kartu, selagi Enrique lolos dari hukuman kedua.
Momen panas itu menjadi bukti bagaimana Enrique tak dulu mengusahakan meredam emosinya di hadapan Real Madrid. Bagi banyak pendukung Los Blancos, ini adalah penghinaan dari seseorang yang dulu mereka dukung. Reaksi dari mantan presiden klub Lorenzo Sanz pun tajam, “Itu provokasi dari pemain yang, omong-omong, dibayar terlampau mahal. Pernyataannya menyedihkan.”
Konflik personal ini memperkuat narasi tentang transformasi Enrique—dari anggota keluarga Madrid menjadi simbol pemberontakan di Catalunya. Sebuah warisan yang tak dulu terlampau padam, lebih-lebih saat ia tak lagi mengenakan seragam pemain.
Treble dan Satu Nama yang Tak Terlupakan
Setelah pensiun terhadap usia 34 tahun, Enrique lagi ke Barcelona sebagai pelatih terhadap 2014. Dalam musim pertamanya, ia langsung mempersembahkan treble bersejarah dengan menjuarai La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions. Ia termasuk memenangkan empat dari delapan El Clasico sebagai pelatih, termasuk beberapa kemenangan meyakinkan.
Prestasi itu berlanjut dengan PSG. Sejak ditunjuk terhadap 2023, Enrique lagi perlihatkan sentuhan emasnya. Musim lalu, ia mengantar klub Paris itu raih treble pertamanya—dan kini, di musim 2025, ia sudah menjejak final Piala Dunia Antarklub setelah menghalau Real Madrid.
Mereka yang dulu mencemoohnya kini tak mampu hindari satu kenyataan bahwa Luis Enrique adalah arsitek kemenangan di mana pun ia berada. Mungkin ia tak dapat dulu disambut hangat lagi di Bernabeu, namun namanya sudah terukir kuat didalam histori rivalitas paling panas di dunia sepak bola.